Jakarta - Meski bukan barang baru, Timnas U-19
mempopulerkan apa yang dikenal sebagai sains olahraga. Indra Sjafri
begitu memperhatikan catatan statistik olahan HPU (high performance unit), mengukur perkembangan VO2 max Ravi Murdianto dan kawan-kawan, dan juga mempopulerkan hydro therapy.
Terapi masuk ke air es untuk melepas asam laktat yang menumpuk dalam
otot ini digunakan untuk mengurangi kelelahan akibat padatnya jadwal
Piala AFF U-19 dan kualifikasi Piala Asia U-19.
Selain mengajarkan untuk tidak memeram buah, Indra juga membuat melek
mata publik. Fakta bahwa ia berkeliling Nusantara mencari bibit
pesepakbola muda berbakat agaknya menjustifikasi satu hal: PSSI tidak
punya inventarisasi pemain muda yang tersebar di seluruh Nusantara.
Pernah saat Indra meminta kepada Pengprov PSSI (ia tak menyebutkan
provinsi tepatnya) untuk melakukan seleksi pemain, ia ditolak. Alasannya
saat itu posisinya sebagai pelatih belum jelas. Padahal, menurut Indra,
bisa saja ia memberikan rekomendasi hasil seleksi kepada pelatih
selanjutnya siapapun itu.
Mirisnya, Indra melakukan blusukan atau safari
itu dengan kondisi setahun tanpa gaji. Ia terpaksa kelaparan dan pinjam
uang ke orang-orang dekatnya. Apa yang membuat Indra mau seperti itu?
Rasa kasihan dengan prestasi sepak bola Indonesia.
Jika dirunut ke belakang, fenomena Timnas U-19 bukanlah yang pertama
kali. Meski tak menghadirkan juara, namun publik pernah dibuat berharap
tinggi atas timnas Primavera yang diutus belajar ke Italia pada 1993.
Target saat itu adalah lolos ke Olimpiade 1996.
Harapan menjulang saat kabar Kurniawan Dwi Julianto direkrut
Sampdoria, klub yang pernah dibela Roberto Mancini. Primavera kemudian
dilanjutkan dengan program Baretti. Hasilnya sama, layu sebelum
berkembang.
Pada 2006, Timnas U-23 yang dikirim ke Belanda di bawah arahan Foppe
de Haan, pelatih yang mengantarkan Jong Oranje merebut gelar juara Euro
U-21 2006. Setali tiga uang, hasilnya hanya kandas di babak kualifikasi
Piala Asia 2006.
Selanjutnya ada pula Timnas U-19 dengan nama kode SAD (Sociedad Anonima Deportiva) yang mulai berguru di Uruguay pada 2008. Syamsir Alam dan M. Zaenal Haq bahkan sampai dikontrak klub lokal, Penarol.
Namun sejarah terulang pada 2009. Stadion Si Jalak Harupat, Bandung
menjadi saksi kegagalan Timnas U-19 lolos ke Piala Asia U-19 2010.
Sekali lagi ekspektasi tinggi publik tanah air harus kembali menapak
tanah.
Sudah jadi pengetahuan umum, di kelompok umur, sepak bola Indonesia
bisa berbicara dan memberi harapan. Di kelompok umur U-12, anak-anak
Indonesia sudah sering berbicara lantang di Danone Nations Cup hampir
tiap tahunnya.
Tahun ini, Indonesia yang diwakili SSB Tugu Muda Semarang menempati
peringkat delapan. Bukan sembarangan karena hanya ada dua tim Asia di
posisi 10 besar. Selain Indonesia ada Jepang di peringkat tiga.
Paling fenomenal tentunya DNC edisi 2006. Indonesia menempati
peringkat empat. Setahun sebelumnya, pernah pula mendapat penghargaan
Pertahanan Terbaik dan Serangan Terbaik serta Pencetak Gol Terbanyak
oleh Irvin Museng.
Pernah mencicipi akademi Ajax Amsterdam yang tersohor itu, musim lalu
Irvin dilepas oleh Persiba Balikpapan karena minim kontribusi.
Sebagus apapun prestasi di kelompok umur, tetap saja prestasi di
tingkat senior yang utama. Seberapapun besarnya prestise menjuarai Piala
Dunia U-20 misalnya, tetap saja Piala Dunia tingkat senior lebih utama.
Bahkan untuk sekedar masuk putaran final di tingkat senior nilainya
dipandang jauh lebih tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar