Jakarta - Stadion Utama Gelora Bung Karno, 12 Oktober 2013, yang diisi sekitar 50.000 penonton bergemuruh saat remaja Surabaya bernama Evan Dimas mencetak gol ketiga ke gawang Lee Seongwon menit
ke-85. Sepuluh remaja berseragam merah-putih berlari ke sudut lapangan.
Bersujud dan berdoa.
Di ruang konferensi pers Stadion Utama Gelora Bung Karno, setengah
jam usai kemenangan bersejarah Timnas Indonesia 3-2 atas Korea Selatan
di kelompok umur U-19, pria Painan, Sumatera Barat bernama Indra Sjafri
ganti membuat gemuruh.
"Tadi kita tidak hanya menang. Bahkan kita main-mainin itu Korea.
Kita kolongin, kita macam-macamin. Mulai saat ini, kita semua bangsa
Indonesia, harus berpikir raksasa Asia adalah Indonesia," tegasnya kala itu.
Para remaja asuhan Indra malam itu menghadirkan kegemparan yang luar
biasa. Lolos ke putaran final Piala Asia U-19 2014 di Myanmar dengan
mengalahkan juara bertahan Korsel. Di kolong Nusantara, hampir tak ada yang menyebut keberhasilan Hargianto dan kawan-kawan hanyalah keberuntungan.
Para remaja asuhan Indra bermain cantik, rapi, dan memandang Korsel bukan sebagai tim dewa.
Itu bukan yang pertama oleh Evan Dimas dan kawan-kawan. Bulan
sebelumnya mereka sudah membuka segel puasa juara selama 22 tahun.
Garuda Jaya, sebutan Indra untuk timnya, mengalahkan Vietnam di final
Piala AFF U-19 pada 22 September di stadion Gelora Delta Sidoarjo.
Terakhir kali Indonesia benar-benar menjuarai kompetisi sepak bola tingkat internasional pada SEA Games
1991. Belum seorangpun pemain Timnas U-19 yang lahir kala itu.
Selebihnya, Indonesia hanya pernah juara pada turnamen tak resmi.
Tanpa komando, dengan instan, sekelompok anak muda ini menjelma
menjadi idola dan cahaya dalam gelapnya persepak bolaan Indonesia. Di
saat senior mereka selalu gagal, mereka datang, berjuang, dan menang.
Pemberitaan yang sebelumnya biasa saja jadi meledak seketika. Pewarta dan media ramai memburu mereka, memaksa Indra memberi batasan. Sampai-sampai Menpora Roy Suryo ikut berpesan agar mereka jauh dari gemerlap dunia selebritis.
Pemberitaan yang sebelumnya biasa saja jadi meledak seketika. Pewarta dan media ramai memburu mereka, memaksa Indra memberi batasan. Sampai-sampai Menpora Roy Suryo ikut berpesan agar mereka jauh dari gemerlap dunia selebritis.
Beberapa orang, di Twitter, Facebook, ataupun Kaskus sampai punya ide
sembrono ingin mereka saja yang tampil di SEA Games Myanmar 2013. Ide
yang mentah-mentah ditolak Indra. Ia punya visi jelas dan batasan tegas.
Jangankan mewakili Indonesia di SEA Games, salah satu anak didiknya
dicomot Rahmad Darmawan pun dia enggan.
"Biarkan buah matang di pohonnya," kata Indra usai pertandingan melawan Korsel U-19.
Pria berkumis satu ini tentu suka mengkonsumsi buah. Ia tahu betul buah yang masak di pohonnya punya rasa lebih enak.
Keberhasilan timnas U-19 menjadi penyegar di tengah gersangnya
prestasi sepak bola Indonesia. Timnas senior asuhan Jacksen Ferreira
Tiago berakhir sebagai juru kunci Grup C kualifikasi Piala Asia 2015.
Di SEA Games Myanmar 2013, pelatih Thailand Kiatisuk ‘Zico’ Senamuang
melakukan apa yang biasa ia lakukan sejak 1993: menggagalkan Indonesia
meraih emas SEA Games.
Di final, anak asuh Rahmad Darmawan kalah 0-1 berkat gol Sarawut Masuk di menit 22. Kisah lama yang terulang kembali. Pada 2011, Rahmad Darmawan pun gagal di final SEA Games meski lewat adu penalti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar